KEUTAMAAN PUASA KITAB DURRATUN NASHIHIN MAJLIS 02
DURRATUN NASHIHIN
MAJLIS 02;
MAJLIS 02;
Surat
Al Baqarah 183-184
بِسْمِ اللهِ
الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ . أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ
كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ (سورة
البقرة ١٨٣-١٨٤)
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar
kalian bertaqwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa
diantara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari
yang lain”.(Qs. Al Baqarah 183-184).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ ; “Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian” yaitu Nabi-Nabi dan ummat sejak
Nabi Adam ‘alaihissalam. Firman ini menegaskan tentang hukum puasa, dorongan
berpuasa dan fa’idah berpuasa yang dapat memperbaiki jiwa.
Puasa
menurut bahasa adalah; Menahan diri dari perkara yang disenangi hati.
Sedangkan
menurut Syara’ adalah; Menahan diri dari perkara yang membathalkan puasa pada
siang hari, karena perkara yang dapat membathalkan puasa adalah perkara yang
paling besar yang disenangi hati.
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ; “agar
kalian bertaqwa” yaitu terpelihara
dari perbuatan-perbuatan ma’shiyat, karena puasa dapat menghancurkan syahwat
(keinginan hati) yang merupakan awal dari segala kema’shiyatan, sebagaimana
Nabi ‘alaihishshalatu wassalam bersabda; “Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di
antara kalian yang telah mendapatkan kemampuan menikah, maka menikahlah karena pernikahan
itu lebih mampu menundukkan pandangan mata dan menjaga kemaluan, dan
barangsiapa yang belum mampu (menikah), maka hendaklah ia berpuasa karena puasa
itu akan menjadi benteng yang dapat meredam nafsu birahinya”.
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ; “(yaitu)
dalam beberapa hari yang tertentu)”. Maksudnya beberapa hari yang
ditentukan dengan bilangan, atau beberapa hari yang sedikit sebagaimana Firman
Allah ta’ala; دَرَاهِمَ مَعْدُودَةٍ “Beberapa dirham saja”,(Qs. Yusuf 20).
Kata
“ أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ “ dibaca nashab bukan karena di nashabkan oleh kata “ الصِّيَامُ “, sebab antara kata “ الصِّيَامُ “ dan “ أَيَّامًا “ terdapat pemisah, tapi ia dibaca nashab
karena di nashabkan oleh kata “صُوْمُوْا “ yang
tersimpan yang ditunjukkan oleh kata “ الصِّيَامُ “. Dan yang dimaksud dengan hari yang
ditentukan itu adalah bulan Ramadlan, atau hari yang diwajibkan berpuasa
sebelum diwajibkannya berpuasa di bulan Ramadlan yaitu hari ‘Asyura, yang telah
dihapus dengan kewajiban berpuasa di bulan Ramadlan, atau tiga hari setiap
bulan. Atau karena menjadi dzaraf, atau karena menjadi maf’ul keduanya lafadz “كُتِبَ “
(karena ittisa’). Dikatakan, ma’na ayat tersebut seperti ma’na kata; “صَوْمُكُمْ كَصَوْمِهِمْ فِى
عَدَدِ الْأَيَّامِ “ (Puasa kalian seperti
puasa mereka dalam bilangan harinya),karena ada riwayat yang mengatakan bahwa
puasa di bulan Ramadlan itu telah diwajibkan atas kaum Nashrany dan jatuh pada
musim yang sangat dingin atau sangat panas, lalu mereka memindahnya ke musim semi,
dan mereka menambahnya duapuluh hari sebagai kafarat karena telah memindahnya.
Dan ada yang mengatakan; Mereka menambahnya karena gempa yang melanda mereka.
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا “Maka
barangsiapa diantara kalian ada yang sakit”
yaitu sakit yang membahayakan,
أَوْ عَلَى سَفَرٍ “atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka)”, ayat ini
memberi isyarah bahwa bagi orang yang berangkat bepergian pada pertengahan
hari, ia tidak diperkanankan berbuka.
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ “maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”. Maksudnya; Apabila berbuka, ia wajib menggantinya sesuai dengan jumlah
puasa yang ditinggalkan ketika sakit atau dalam perjalanan pada hari-hari yang
lain.(Qodli Baidlowi).
________________________________
Diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf dari Nabi
‘alaihishshalatu wassalam beliau bersabda; “Jibril telah datang kepadaku dan
berkata; Wahai Muhammad, seseorang tidaklah bershalawat atasmu kecuali 70 ribu
malaikat memohonkan ampun atasnya, barangsiapa yang apabila malaikat memohonkan
ampun atasnya, maka dia termasuk ahli sorga”.(Zubdah).
Dari Nabi ‘alaihishshalatu wassalam beliau meriwayatkan
firman Tuhannya yang Maha Luhur; “Semua ‘amal
anak Adam adalah untuknya kecuali puasa, sesungguhnya puasa adalah untuk-Ku,
dan Aku lah yang akan membalasnya”. Karena pauasa merupakan ‘amal yang tidak
berwujud yang didalamnya tidak ada ‘amal yang nampak, tidak seperti
‘ibadah-‘ibadah yang lain, dan karena puasa adalah ‘amal rahasia yang tidak
seorangpun yang mengetahuinya kecuali Allah, maka Allah Ta’ala berjanji, Dia
sendiri yang akan memberikan balasannya, karena itu diriwayatkan dari Nabi
‘alaihishshalatu wassalam beliau bersabda; “Pada hari kiamat kelak akan
datang suatu kaum yang memiliki sayap
saperti sayap burung, lalu dengan sayapnya mereka terbang diatas pagar sorga,
lantas malaikat penjaga sorga bertanya kepada mereka; Siapa kalian? Mereka
menjawab; Kami dari ummat Muhammad ‘alaihishshalatu wassalam. Malaikat penjaga
sorga bertanya lagi; Apakah kalian melihat hisab? Tidak. Apakah kalian melihat
Shirath? Tidak, jawab mereka. Lalu dengan apa kalian bisa mendapatkan derajt
ini? mereka menjawab; Saat didunia kami menyebah Allah Ta’ala dengan rahasia,
dan di akhirat Allah Ta’ala memasukkan kami ke sorga dengan rahasia
pula”.(Zubdatul Wa’idzin).
Dan
apabila orang yang berpuasa itu menghawatirkan keselamatan dirinya sebab rasa
lapar dan dahaga atau sedang sakit lalu hawatir akan bertambah parah, maka dia
boleh berbuka, karena itu adalah darurat dan darurat memperbolahkan perkara
yang dilarang.(Rawdlatul ‘Ulama’).
Diriwayatkan
dari Nabi ‘alaihishshalatu wassalam beliau bersabda; “Ummatku akan diberi lima
macam perkara yang belum pernah diberikan kepada siapapun sebelum mereka.
Pertama; pada malam pertama bulan Ramadlan Allah Ta’ala akan memandang mereka
dengan rahmat dan barangsiapa yang apabila Allah Ta’ala memandangnya dengan
rahmat, setelah itu Allah tidak akan menyiksanya selama-lamanya. Kedua; Allah
Ta’ala memerintahkan malaikat untuk memohonkan ampun bagi mereka. Ketiga; bau
mulut orang yang berpuasa di sisi Allah lebih wangi daripada wangi kesturi.
Keempat; Allah Ta’ala berfirman kepada sorga; Pakailah perhiasanmu, dan
berfirman; Sungguh beruntung hamba-hamba-Ku yang beriman, mereka itulah para
kekasih-Ku. Kelima; Allah Ta’ala akan mengampuni mereka seluruhnya”. Karena
itulah diriwatkan dari Abu Hurairah radliyallah ‘anhu ia berkata; Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; “Barangsiapa yang berpuasa Ramadlan
karena iman dan mengharap pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan
diampuni”.(Zubdatul Wa’idzin).
Diriwayatkan
dari Nabi ‘alaihishshalatu wassalam beliau bersabda; “Sesungguhnya setiap jam dari bulan Ramadlan Allah
Ta’ala memerdekakan 700 ribu orang dari neraka dari golongan orang-orang yang
berhak mendapatkan siksa hingga malam Lailatu Qadar, dan pada malam Lailatul
Qadar Allah Ta’ala memerdekakan sejumlah bilangan orang yang dimerdekakan sejak
awal bulan, dan pada hari labaran Allah Ta’ala memerdekakan sejumlah orang yang
dimerdekakan dari awal bulan hingga hari lebaran”.(Misykat).
Diriwayatkan dari Jabir dari Nabi ‘alaihishshalatu
wassalam beliau bersabda; “Pada malam terakhir dari bulan Ramadlan, langit,
bumi dan para malaikat menangis karena mushibah yang akan menimpa ummat
Muhammad ‘alaihishshalatu wassalam. Beliau ditanya; Mushibah apakah itu wahai
Rasul Allah? Nabi ‘alaihishshalatu wassalam menjawab; Perginya bulan Ramadlan,
karena do’a-do’a pada bulan Ramadlan dikabulkan, sedekah diterima, ‘amal-‘amal
kebaikan dilipatgandakan dan siksa dijauhkan, dimanakah mushibah yang lebih
besar daripada perginya bulan Ramadlan? Maka ketika langit dan bumi menangis,
kita lebih pantas menangis dan berduka cita karena perkara yang memutuskan kita
dari keutamaan dan kemuliyaan ini”.(Hayatul Qulub).
Diriwayatkan
dari Nabi ‘alaihishshalatu wassalam beliau bersabda; “Sesungguhnya Allah Ta’ala menciptakan malaikat yang
memiliki empat wajah yang jarak antara satu wajah dengan wajah lainnya sejauh
perjalanan seribu tahun, kemudian ia bersujud dengan salah satu wajahnya hingga
kiamat seraya berkata didalam sujudnya; “سبحانك ما أعظم جمالك “ (Maha suci Engkau, betapa AgungNya shifat
Jamal-Mu, dengan satu wajahnya ia menghadap keneraka Jahannam dan berkata;
Celakalah orang-orang yang masuk kedalamnya, dengan satu wajahnya lagi ia
menghadap kesorga dan berkata; Beruntunglah orang-orang yang masuk kedalamnya,
dan dengan satu wajah lainnya ia menghadap ke ‘Arsy Allah Ar Rahman dan
berkata; Wahai Tuhanku,kasihanilah dan janganlah Engkau menyiksa orang-orang
yang berpuasa Ramadlan dari ummat Muhammad ‘alaihishshalatu wassalam”.(Zahratur
Riyadl).
Diriwayatkan
dari Nabi ‘alaihishshalatu wassalam beliau bersabda; “Sesungguhnya Allah Ta’ala
memerintahkan malaikat Kirom Al Katibin (malaikat mulia yang bertugas mencatat
‘amal) pada bulan Ramadlan untuk menulis ‘amal-‘amal kebaikan bagi ummat
Muhammad ‘alaihishshalatu wassalam, tidak menulis ‘amal-‘amal kejelekan mereka
dan menghilangkan dosa-dosa mereka yang telah lalu”.
Dan
Nabi ‘alaihishshalatu wassalam beliau bersabda; “Barangsiapa yang berpuasa
Ramadlan karena iman dan mengharap pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu
akan diampuni”.(Zahratur Riyadl).
Dikatakan, puasa itu ada tiga tingkatan; Puasa
orang-orang ‘awam, Puasa orang-orang khusus dan Puasa orang-orang istimewa.
·
Puasa orang-orang ‘awam yaitu mencegah syahwat perut
dan kemaluan.
·
Puasa orang-orang khusus adalah puasa orang-orang
shalih, yaitu mencegah seluruh anggota dzahir dari berbuat dosa, namun itu
tidak akan sempurna kecuali dengan menetapi lima macam perkara;
1) Menundukkan pandangan dari setiap perkara
yang dicela Syara’.
2) Menjaga lisan dari menggunjing, berbohong,
adu domba dan sumpah palsu karena ada hadits yang diriwayatkan oleh Anas dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda; “Lima perkara yang dapat
membathalkan (pahala) puasa; 1) Berbohong, 2) Menggunjing, 3) Adu domba, 4)
Sumpah palsu, 5) Pandangan disertai dengan syahwat”.
3) Mencegah telinga dari mendengarkan setiap
perkara yang dibenci Syara’.
4) Mencegah seluruh organ tubuh dari perkara
yang dimakruhkan dan mencegah perut dari perkara syubhat disaat berbuka, karena
tidaklah berarti berpuasa dari makan barang halal kemudian berbuka dengan
barang haram, demikian itu seperti orang yang membangun gedung namun
menghancurkan kota. Nabi ‘alaihishshalatu wassalam bersabda; “Berapa banyak
orang orang yang berpuasa, namun ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya
kecuali lapar dan dahaga”.
5) Tidak terlalu banyak makan barang halal
disaat berbuka, kira-kira perutnya tidak sampai penuh, karerna itu Nabi ‘alaihishshalatu
wassalam bersabda; “Tidak ada perut yang lebih dibenci oleh Allah daripada
perut yang penuh dengan barang halal”.
·
Puasa orang-orang istimewa adalah puasa hati, yaitu
hati berpuasa dari rencana-rencana hina, berfikir tentang urusan dunia dan
menahan hati dari selain Allah secara keseluruhan.
Apabila orang yang berpuasa berfikir
tentang selain Allah, maka berarti berbuka dari puasanya, itulah tingkatan
puasa para Nabi dan Shiddiqien.
Sesungguhnya pencapaian kedudukan ini
adalah menghadap kepada Allah Ta’ala secara keseluruhan dan berpaling dari
selain-Nya.(Zubdatul Wa’idzin).
Ketahuilah bahwa puasa adalah suatu ‘ibadah yang tidak
dapat diraba oleh indera manusia, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah
dan orang yang berpuasa itu sendiri, dan puasa adalah suatu ‘ibadah yang
rahasia antara Tuhan dan hamba. Ketika puasa merupakan suatu ‘ibadah dan
ketha’atan yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah, maka Allah
menyandarkan kepada-Nya dan berfirman; “Puasa
adalah untuk-Ku, dan Aku lah yang akan membalasnya”.
Dan
dikatakan; Allah menyandarkan puasa kapada-Nya karena puasa adalah suatu
‘ibadah yang tidak seorangpung menyekutukan Allah Ta’ala dalam ‘ibadahnya sebab
sebagian hamba ada yang menyembah berhala dan bersujud kepadanya, ada yang
menyembah matahari, bulan dan ada yang bersedekah karena berhala, mereka adalah
orang-orang kafir. Namun tidak seorangpun yang berpuasa karena berhala,
matahari atau bulan, akan tetapi ia berpuasa murni karena Allah Ta’ala. Ketika
puasa merupakan suatu ‘abadah yang tidak dilakukan pada selain Allah dan puasa
adalah suatu ‘ibadah yang murni karena Allah Ta’ala, maka Allah Ta’ala
menyandarkan puasa kepada-Nya lalu berfirman; “Puasa adalah
untuk-Ku, dan Aku lah yang akan membalasnya”. Maksudnya, Aku (Allah) membalas
puasanya itu karena kemurahan dari shifat ketuhanan, bukan karena pantas menerima
atas pengabdiannya.
Abu
Al Hasan berkata; Ma’na Firman Allah “dan Aku lah yang akan membalasnya” yaitu;
Setiap keta’atan balasannya adalah sorga, sedangkan puasa balasannya adalah
bertemu dengan-Ku, Aku melihatnya, ia pun melihat-Ku dan ia berbicara
dengan-Ku, Aku-pun berbicara dengannya tanpa perantara dan juru bahasa.
Demikianlah apa yang disebutkan dalam kitab Mukhtashar Al Rawdlah, maka jagalah
dan nasehatilah orang-orang, janganlah engkau menjadi orang yang tidak jelas.
Menurut
Madzhab kami, orang yang berpuasa boleh menyantuh dan mencium istrinya di bulan
Ramadlan apabila tidak hawatir terhadap dirinya, sedangkan apabila
menghawatirkan dirinya akan melakukan senggama atau akan keluar mani lantaran
sentuhan tersebut, maka demikian itu tidak boleh. Dan Sa’id bin Musayyab
berkata; Tidak boleh bagi orang yang berpuasa menyentuh atau mencium istrinya,
baik menghawatirkan dirinya atau tidak.
Diriwayatkan
dari Ibn ‘Abbas; Seorang pemuda datang kepada Ibn ‘Abbas dan berkata kepadanya;
Bolehkah aku mencium istriku sementara aku sedang berpuasa? “Tidak”, jawab Ibn
‘Abbas. Lalu datanglah kakek-kakek dan bertanya kepadanya; Bolehkah aku mencium
istriku sementara aku sedang berpuasa? “Boleh”, jawab Ibn ‘Abbas. Kemudian
pemuda tersebut kembali kepada Ibn ‘Abbas dan bertanya; Bagaimana bisa engkau
menghalalkan baginya apa yang engkau harmkan bagiku, sedangkan kami satu Agama?
Ibn ‘Abbas menjawab; Sesungguhnya (ototmu digantungkan pada hidung, apabila
hidung mencium, dzakar akan bergerak, dan apabila dzakar bergerak, ia akan
menarik pada hal yang lebih besar dari itu), orang yang sudah tua itu dapat
mengendalikan nafsu birahinya, sedangkan engkau seorang pemuda tidak akan dapat
mengendalikan nafsu birahimu.(Rawdlatul ‘Ulama’).
Dari
Abdullah bin 'Amru bin Al 'Ash, ia berkata; Ketika kami sedang bersama Nabi
Shallallahu 'alaihi wa Salam datanglah seorang pemuda dan bertanya; "Wahai
Rasulullah, apakah boleh aku mencium (isteriku) sementara aku sedang berpuasa? "Tidak", jawab beliau. Lalu ada
seorang kakek-kakek datang dan bertanya; "Apakah aku boleh mencium
(isteriku) sementara aku sedang berpuasa? "Ya", jawab beliau. Ia
berkata; lalu kamipun saling memandang satu sama lain, maka Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Aku tahu kenapa kalian saling
berpandangan satu sama lain; sesungguhnya orang yang sudah tua itu dapat
menahan nafsu birahiya”.(Musnad Ahmad 2/185)(Hadza min ziyadati).
Dikatakan;
Yang dimaksud dengan puasa adalah menaklukkan musuh Allah, karena syahwat
merupakan perangkap syaithan dan syahwat akan semakin kuat sebab makan dan
minum, maka fa’idah puasa yang berupa menaklukkan musuh Allah dan
mengahancurkan syahwat tidak akan tercapai kecuali dengan menundukkan nafsu
dengan mengurangi makan, karena itulah diriwayatkan tentang di syari’atkannya
puasa bahwasanya setelah Allah Ta’ala menciptakan akal, Allah Ta’ala berfirman;
Menghadaplah! Lalu akal menghadap. Allah Ta’ala berfirman lagi; Berbaliklah!
Lalu akal berbalik. Kemudian Allah bertanya; Siapa kamu, dan siapa Aku? Akal
menjawab; Engkau adalah Tuhanku dan aku adalah hamba-Mu yang lemah. Lantas
Allah Ta’ala berfirman; Wahai akal, Aku tidak menciptakan makhluk yang lebih
mulia darimu. Kemudian Allah Ta’ala menciptakan nafsu lalu berfirman;
Menghadaplah! Nafsu tidak menjawabnya. Lantas Allah Ta’ala bertanya; Siapa
kamu, dan siapa Aku? Nafsu menjawab; Aku adalah aku, Kamu adalah Kamu. Lalu
Allah Ta’ala menghukumnya dalam neraka Jahannam selama seratus tahun, kemudian
mengeluarkannya dan bertanya; Siapa kamu, dan siapa Aku? Nafsu menjawab seperti
jawaban yang pertama. Lantas Allah Ta’ala menenggelamkannya dalam panasnya
lapar selama seratus tahun, lalu bertanya kepadanya, dan akhirnya nafsu
mengakui bahwa ia adalah hamba dan Dia adalah Tuhan. Sebab itulah Allah Ta’ala
mewajibkan atas nafsu untuk berpuasa.(Misykat).
Dikatakan;
Hikmah diwajibkannya berpuasa selama 30 hari (sebulan) ialah; Sesungguhnya
bapak kita, Nabi Adam ‘alaihissalam setelah memakan buah pohon abadi di sorga,
buah itu mengendap dalam perutnya selama 30 hari, dan ketika beliau bertaubat
kepada Allah Ta’ala, Allah Ta’ala memerintahkannya untuk berpuasa siang malam
selama 30 hari. Sebab keni’matan dunia itu ada empat macam, yaitu; Makan,
minum, jima’ dan tidur, yang semuanya dapat menjadi penghalang bagi seorang
hamba dari ridla Allah Ta’ala. Sedangkan diwajibkannya berpuasa bagi ummat
Muhammad ‘alaihishshalatu wassalam disiang hari dan diperbolehkan makan pada
malam hari adalah merupakan anugrah dari Allah Ta’ala dan kemuliaan bagi
kita.(Bahjatul Anwar).
●
HIKAYAT ●
Dikisahkan
bahwa salah seorang Majusi menlihat anaknya makan di sebuah pasar pada bulan
Ramadlan, lalu Majusi memukulnya dan berkata; Kenapasih engkau tidak menghargai
penghormatan orang-orang Islam terhadap bulan Ramadlan? Kemudian setelah Majusi
itu meninggal dunia, seorang ‘Alim melihatnya dalam mimpi ia berada diatas
ranjang kehormatan didalam sorga lalu berkata; Bukankah engkau seorang Majusi?
Majusi menjawab; Ya, nemun pada saat aku hendak meninggal dunia, aku mendengar
seruan dari langit; Wahai malaikat-Ku, janganlah engkau membiarkannya mati
dalam keadaan baragama Majusi, muliakanlah ia dengan Islam lantaran
penghormatannya terhadap Ramadlan.
Kisah
ini memberikan pengertian bahwa; Menghormati bulan Ramadlan saja seorang Majusi
mendapatkan keimanan, apalagi orang yang berpuasa dan memuliakannya?(Zubdatul
Majalis).
Dari Nabi ‘alaihishshalatu wassalam beliau
meriwayatkan firman Tuhannya yang Maha Luhur; “Setiap ‘amal kebaikan yang
dilakukan oleh anak Adam, pahalanya dilipat gandakan mulai dari 10 sampai 700
kali lipat kecuali puasa, sesungguhnya puasa adalah
untuk-Ku, dan Aku lah yang akan membalasnya”.
Para
‘Ulama’ berbeda pendapat tentang firman Allah ta’ala; “Puasa adalah untuk-Ku,
dan Aku lah yang akan membalasnya”, padahal setiap ‘amal adalah untuk Allah,
dan Allah lah yang akan membalasnya;
1)
Maksudnya
didalam puasa tidak ada riya’ sebagaimana yang terjadi pada ‘ibadah selain
puasa, karena riya’ terdapat pada diri anak Adam sedangkan puasa adalah sesuatu
yang terdapat dalam hati. Tagasnya, tidak ada suatu ‘amalpun yang dilakukan
tanpa gerakan kecuali puasa, dan puasa hanya dengan niyat yang tersembunyi dari
semua orang.
2)
Yang
dimaksud dengan firman; “dan Aku lah yang akan membalasnya” adalah hanya Allah
semata yang mengetahui kadar dan kelipatan pahalanya, sedangkan ‘ibadah selain
puasa terkadang sebagian orang ada yang mengetahuinya.
3)
Maksud
firman Allah itu ialah; puasa adalah ‘ibadah yang paling Allah cintai.
4)
Idofah
tersebut (Allah menyandarkan puasa kapada-Nya) adalah idlofah Tasyrif (karena
memuliakan) dan idlofah Tadl’if (karena melipat gandakan) seperti kata
“Baitullah”.
5)
Meninggalkan
makan minum dan lainnya yang berupa syahwat (selera hati) termasuk diantara
shifat-shifat ketuhanan, maka ketika orang yang berpuasa bertakarrub
(mendekatkan diri) kepada Allah dengan shifat yang sesuai dengan shifat-shifat
Allah, Allah menyandarkan kepada-Nya.
6)
Secara
ma’na sama seperti pendapat kelima, hanyasaja disini dinisbatkan kepada
malaikat, karena demikian itu merupakan shifat-shifat malaikat.
7)
Semua
‘ibadah bisa menerima kedzaliman orang-orang kecuali puasa.
Para
‘Ulama’ sepakat bahwa yang dimaksud dengan puasa dalam firman Allah “Puasa
adalah untuk-Ku, dan Aku lah yang akan membalasnya” adalah puasa orang yang
selamat dari kema’shiyatan baik berupa ucapan atau perbuatan.(Miftahush
Shalat).
Diriwayatkan
dari Nabi ‘alaihishshalatu wassalam beliau bersabda; “Barangsiapa yang berpuasa
Ramadlan karena iman dan mengharap pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu
akan diampuni”. Sungguh benar sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam.
Komentar
Posting Komentar