DEFINISI AMAR MACAM-MACAM AMAR DAN TUNTUTANNYA
DEFINISI AMAR, MACAM-MACAM AMAR DAN TUNTUTANNYA
صيغ الأمر
AMAR (Perintah)
تعريفه:
Definisi Perintah;
الأمر: قول يتضمن طلب الفعل على
وجه الاستعلاء، مثل: أقيموا الصلاة وآتوا الزكاة.
فخرج بقولنا: "قول" ؛
الإشارة فلا تسمى أمراً، وإن أفادت معناه.
وخرج بقولنا: "طلب
الفعل" ؛ النهي لأنه طلب ترك، والمراد بالفعل الإيجاد، فيشمل القول المأمور
به.
وخرج بقولنا: "على وجه
الاستعلاء" ؛ الالتماس، والدعاء وغيرهما مما يستفاد من صيغة الأمر بالقرائن.
Amar (perintah)
ialah; Perkataan yang mengandung tuntutan untuk mengerjakan suatu
pekerjaan yang bersifat Isti’la’ (dari yang derajatnya lebih tinggi untuk yang
derajatnya lebih rendah). Seperti; Kerjakanlah shalat dan tunaikanlah
zakat.
§
Maka dikecualikan
dari perkataan kami; “Perkataan”, yaitu; Isyarat. Isyarat tidak
dapat dikatakan amar (perintah) walaupun ma’nanya berfaidah perintah.
§
Dikecualikan dari
perkataan kami; “tuntutan untuk mengerjakan suatu pekerjaan”,
yaitu; Nahi (larangan), karena nahi berarti tuntutan untuk meninggalkan
sesuatu. Dan yang dimaksud dengan pekerjaan adalah mewujudkan sesuatu, maka dengan
demikian ia mencakup semua perkataan yang diperintahkannya.
§
Dan dikecualikan
dari perkataan kami; “yang bersifat Isti’la’ (dari yang derajatnya lebih
tinggi untuk yang derajatnya lebih rendah)”, yaitu; Iltimas (permintaan
dari dan terhadap yang sederajat), do’a (permohonan dari yang derajatnya lebih
rendah terhadap yang derajatnya lebih tinggi), dan selain dari keduanya yang
berupa perkataan yang memberikan faidah amar karena adanya qorinah (sesuatu
yang menunjukkan maksud perkataan).
صيغ
الأمر
(Macam-Macam Bentuk Amar)
صيغ الأمر أربع:
١- فعل الأمر، مثل: {اتْلُ مَا أُوحِيَ
إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ}[العنكبوت: من الآية ٤٥]
٢- اسم فعل الأمر، مثل: حيّ على الصلاة.
۳- المصدر النائب عن فعل الأمر، مثل: {فَإِذَا
لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ الرِّقَاب}[محمد: من الآية ٤]
٤- المضارع المقرون بلام الأمر، مثل:
{لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ}[المجادلة: من الآية ٤]
وقد يستفاد طلب الفعل من غير
صيغة الأمر، مثل أن يوصف بأنه فرض، أو واجب، أو مندوب، أو طاعة، أو يمدح فاعله، أو
يذم تاركه، أو يرتب على فعله ثواب، أو على تركه عقاب.
Bentuk-bentuk Amar
(perintah) ada empat;
1.
Fi’il amar,
seperti; “Bacalah kitab (al-Qur’an) yang telah diwahyukan”.(Qs.
Al Ankabut; 45).
2.
Isim fi’il amar
(isim yang menggantikan fi’il amar), seperti; Mari kita shalat.
3.
Mashdar yang
menjadi ganti dari fi’il amar, seperti; “Maka apabila kamu bertemu dengan
orang-orang yang kafir (di medan perang), maka pukullah batang leher
mereka”.(Qs. Muhammad; 4).
4.
Fi’il mudhori’
yang bertemu dengan lam amar, seperti; “Agar kamu beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya”.(Qs. Al Fath; 9, dan Al Mujadalah; 4).
Faidah tuntutan
untuk mengerjakan suatu pekerjaan terkadang timbul dari selain bentuk amar,
seperti sesuatu yang disifati dengan wajib, mandub, tha’at, pujian bagi yang melakukannya,
celaan bagi yang meninggalkannya, mendapatkan pahala jika dikerjakannya, dan
mendapatkan siksa jika ditinggalkannya.
(تعليق)
علق فضيلة الشيخ المؤلف رحمه
الله تعالى بقوله:
ومثال ما وصف بأنه فرض: قوله صلى
الله عليه وسلم: "فأعلمهم أن الله قد فرض عليهم خمس صلوات في كل يوم وليلة....".
ومثال ما وصف بأنه واجب: قوله
صلى الله عليه وسلم: "غسل الجمعة واجب على كل محتلم".
ومثال ما وصف بأنه طاعة: قوله
صلى الله عليه وسلم: "من أطاع أميري فقد أطاعني".
ومثال ما مدح فاعله: قوله صلى
الله عليه وسلم: "نعم الرجل عبد الله
بن عمر لو كان يقوم من الليل".
ومثال ما ذم تاركه: قوله صلى
الله عليه وسلم: "من ترك الرمي بعدما علمه رغبة عنه، فإنها نعمة
كفرها"..
ومثال ما رتب على فعله الثواب:
قوله صلى الله عليه وسلم: "من صلى علي صلاة صلى الله عليه بت عشرا".
ومثال ما رتب على تركه العقاب:
قوله صلى الله عليه وسلم: "من ترك ثلاث جمع تهاونا طبع الله على قلبه".
Catatan kaki;
Yang mulia tuan
guru penyusun kitab ini rahimahullah Ta’ala memberikan catatan kaki dengan perkataannya;
ð
Contoh sesuatu
yang disifati dengan fardhu seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam; “Maka
ajarkanlah kepada mereka bahwasanya Allah benar-benar mewajibkan kepada mereka
shalat lima waktu setiap sehari semalam”.
ð
Contoh sesuatu
yang disifati dengan wajib seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam; “Mandi
pada hari Jum’at adalah wajib atas setiap orang yang telah baligh”.
ð
Contoh sesuatu
yang disifati dengan tha’at seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam; “Barangsiapa
yang ta’at terhadap pemimpinku, maka ia telah ta’at kepadaku”.
ð
Contoh sesuatu
yang disifati dengan pujian bagi yang melakukannya seperti sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam; “Sebaik-baik laki-laki adalah ‘Abdullah bin
‘Umar manakala ia mengerjakan shalat malam”.
ð
Contoh sesuatu
yang disifati dengan celaan bagi yang meninggalkannya seperti sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam; “Barangsiapa meninggalkan memanah setelah diajarkan
kepadanya karena berpaling darinya, maka sungguh itu merupakan ni’mat yang ia
tinggalkan”.
ð
Contoh sesuatu
yang disifati dengan mendapatkan pahala jika dikerjakannya seperti sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam; “Barangsiapa yang bershalawat kepadaku sekali
saja, maka Allah akan menganugerahkan sepuluh rahmat kepadanya”.
ð
Contoh sesuatu
yang disifati dengan mendapatkan siksa jika ditinggalkannya seperti sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam; “Barangsiapa yang meninggalkan shalat Jum’at
sebanyak tiga kali karena meremehkannya, maka Allah akan menutup pintu hatinya”.
ما
تقتضيه صيغة الأمر
(Tuntutan Dari Bentuk Amar)
صيغة الأمر عند الإطلاق تقتضي:
وجوب المأمور به، والمبادرة بفعله فوراً.
فمن الأدلة على أنها تقتضي
الوجوب قوله تعالى: {فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ
تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ}[النور: من الآية ٦۳]، وجه
الدلالة أن الله حذر المخالفين عن أمر الرسول صلّى الله عليه وسلّم أن تصيبهم
فتنة، وهي الزيغ، أو يصيبهم عذاب أليم، والتحذير بمثل ذلك لا يكون إلا على ترك واجب؛ فدل على أن أمر الرسول صلّى الله عليه
وسلّم المطلق يقتضي وجوب فعل المأمور.
ومن الأدلة على أنه للفور قوله
تعالى: {فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ} [البقرة: ١٤٨، والمائدة: ٤٨] والمأمورات
الشرعية خير، والأمر بالاستباق إليها دليل على وجوب المبادرة.
ولأن النبي صلّى الله عليه وسلّم
كره تأخير الناس ما أمرهم به من النحر والحلق يوم الحديبية، حتى دخل على أم سلمة
رضي الله عنها فذكر لها ما لقي من الناس .
ولأن المبادرة بالفعل أحوط
وأبرأ، والتأخير له آفات، ويقتضي تراكم الواجبات حتى يعجز عنها.
Bentuk amar ketika
dimutlakkan menuntut; Wajibnya sesuatu yang diperintahkan, dan bergegas
melakukannya dengan segera.
Di antara
dalil-dalil yang menunjukkan bahwa bentuk amar ketika dimutlakkan menuntut
wajibnya sesuatu adalah firman Allah Ta’ala; “Maka hendaknya orang-orang
yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa adzab
yang pedih”.(Qs. An Nur; 63).
Maksudnya;
Sesungguhnya Allah memberi peringatan terhadap orang-orang yang menyalahi
perintah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa mereka akan mendapatkan
cobaan atau ditimpa adzab yang pedih, dan peringatan semacam itu tidaklah
terjadi kecuali karena meninggalkan kewajiban, maka hal itu menunjukkan bahwa
perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang secara mutlak (umum); menuntut wajibnya
mengerjakan sesuatu yang diperintahkan.
Dan di antara
dalil-dalil yang menunjukkan bahwa perintah tersebut menuntut harus
dilaksanakan dengan segera adalah firman Allah Ta’ala; “Maka
berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan”.(Qs. Al Baqarah; 148, dan Al
ma’idah; 48).
v
Setiap perkara
yang diperintahkan menurut syari’at merupakan suatu kebaikan, dan perintah
untuk berlomba-lomba mengerjakan kabaikan merupakan dalil atas wajibnya bersegera
menjalankan apa yang diperintahkan.
v
Karena
sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak suka terhadap orang-orang yang
mengakhirkan apa yang diperintahkan kepada mereka berupa menyembelih hewan
kurban dan mencukur rambut pada hari perjanjian Hudaibiyah, hingga beliau masuk
menemui Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha lalu menceritakan kepadanya kejadian
yang beliau dapatkan dari sikap kaum muslimin.
v
Dan karena
bersegera mengerjakan (perintah) menunjukkan sikap lebih berhati-hati dan berbakti,
sedangkan mengakhirkannya merupakan petaka, dan dapat mengakibatkan
bertumpuk-tumpuknya beberapa kewajiban hingga ia tidak sanggup lagi untuk
mengerjakannya.
وقد يخرج الأمر عن الوجوب
والفورية لدليل يقتضي ذلك، فيخرج عن الوجوب إلى معان منها:
١- الندب؛ كقوله تعالى: {وَأَشْهِدُوا إِذَا
تَبَايَعْتُمْ} [البقرة: ٢٨٢] فالأمر بالإشهاد على التبايع للندب بدليل أن النبي
صلّى الله عليه وسلّم اشترى فرساً من أعرابي ولم يشهد .
Ø
Perintah terkadang
keluar dari hukum wajib dan bersegera karena adanya dalil yang menghendaki
demikian. Perintah yang keluar dari hukum wajib menjadi beberapa ma’na,
dintaranya;
1.
An-Nadbu
(sunnat), seperti firman Allah Ta’ala; “Dan datangkanlah saksi apabila kamu
berjual beli”.(Qs. Al Baqarah; 282).
Perintah
untuk mendatangkan saksi atas jual beli menunjukkan hukum sunnat berdasarkan
dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membeli kuda dari orang
A’rabiy (Arab pedalaman) dan beliau tidak mendatangkan saksi.
٢- الإباحة؛ وأكثر ما يقع ذلك إذا ورد بعد
الحظر، أو جواباً لما يتوهم أنه محظور.
مثاله بعد الحظر: قوله تعالى:
{وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا} [المائدة: ٢] فالأمر بالاصطياد للإباحة لوقوعه
بعد الحظر المستفاد من قوله تعالى: {غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ
} [المائدة: ١]
ومثاله جواباً لما يتوهم أنه
محظور؛ قوله صلّى الله عليه وسلّم: "افعل ولا حرج"، في جواب من سألوه في
حجة الوداع عن تقديم أفعال الحج التي تفعل يوم العيد بعضها على بعض.
2.
Ibahah
(boleh), kebanyakan hal itu terjadi apabila ia datang setelah adanya larangan,
atau sebagai jawaban atas apa yang di duga bahwa ia adalah dilarang.
ð
Contoh perintah
yang datang setelah adanya larangan adalah firman Allah Ta’ala; “Apabila
kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu”.(Qs. Al
Ma’idah; 2).
Perintah
berburu menunjukkan hukum boleh, karena munculnya perintah itu setelah adanya
larangan yang diperoleh dari firman Allah Ta’ala; “dengan tidak menghalalkan
berburu ketika kamu sedang berihram”.(Qs. Al Ma’idah; 1).
ð
Dan contoh
perintah sebagai jawaban atas apa yang di duga bahwa ia adalah dilarang adalah
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam; “Lakukanlah, tidak mengapa”,
sebagai jawaban atas pertanyaan seseorang yang bertanya kepada beliau pada
waktu hajji wada’ tentang mendahulukan beberapa pekerjaan hajji yang dilakukan
pada hari lebaran yaitu sebagiannya atas sebagian yang lain.
۳- التهديد كقوله تعالى: { اعْمَلُوا مَا
شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ}[فصلت: من الآية: ٤٠]، { إِنَّا
أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارا}[الكهف: من الآية ٢٩] فذكر الوعيد بعد الأمر
المذكور دليل على أنه للتهديد.
3.
At Tahdid
(ancaman), seperti firman Allah Ta’ala; “Lakukanlah apa yang kamu kehendaki!
Sungguh, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.(Qs. Fushshilat; 49),
“Barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang
menghendaki (kafir) biarlah ia kafir. Sesungguhnya Kami telah menyediakan
neraka bagi orang-orang yang dzalim”.(Qs. Al Kahfi; 29).
ü
Disebutkannya ancaman
setelah adanya perintah tersebut merupakan dalil bahwa perintah itu adalah
sebagai ancaman.
ويخرج الأمر عن الفورية إلى
التراخي.
مثاله: قضاء رمضان فإنه مأمور به
لكن دلَّ الدليل على أنه للتراخي، فعن عائشة رضي الله عنها قالت: كان يكون عليّ
الصوم من رمضان فما أستطيع أن أقضيه إلا في شعبان، وذلك لمكان رسول الله صلّى الله
عليه وسلّم.
ولو كان التأخير محرماً ما أقِرّت عليه عائشة رضي الله
عنها.
Ø
Perintah yang
keluar dari kewajiban untuk bersegera menjadi boleh di tunda.
ð
Contohnya seperti;
Qadha’ puasa Ramadhan. Sesungguhnya ia merupakan perkara yang diperintahkan,
akan tetapi ada dalil yang menunjukkan bahwa ia boleh di tunda. Diriwayatkan
dari sayyidah A’isyah radhiyallahu ‘anha ia berkata; “Aku pernah punya
hutang puasa Ramadhan dan aku tidak mampu mengqadha’nya kecuali pada bulan
Sya’ban, demikian itu karena kesibukanku bersam Rasulullah shallahu ‘alaihi
wasallam”.
ü
Sekiranya
mengakhirkan qadha’ adalah haram, niscaya beliau tidak mengizinkan sayyidah
A’isyah radhiyallahu ‘anha.
شكرا جزيلا
BalasHapus