KETENTUAN KAYA DALAM BAB ZAKAT
KETENTUAN
KAYA DALAM BAB ZAKAT
وَالْمَذْهَبُ
الثَّالِثُ : مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْغِنَى غَيْرُ مُعْتَبَرٍ بِالْمَالِ
، وَإِنَّمَا هُوَ الْقُدْرَةُ عَلَى الْكِفَايَةِ الدَّائِمَةِ لِنَفْسِهِ
وَلِمَنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ إِمَّا بِضَاعَةً أَوْ تِجَارَةً أَوْ زِرَاعَةً ،
وَبَيَانُ ذَلِكَ أَنَّ النَّاسَ أَرْبَعَةُ أَصْنَافٍ : صُنَّاعٌ وَتُجَّارٌ
وَأَصْحَابُ عَقَارٍ وَأَصْحَابُ مَوَاشٍ .
Madzhab ketiga : Madzhab Imam Syafi’i
menyatakan bahwa kaya tidak ditentukan dengan harta, sesungguhnya kaya hanya
dinilai dari kemampuan memenuhi kecukupan bagi diri sendiri dan bagi orang yang
wajib dinafkahi, baik dengan hasil bekerja, berdagang maupun bertani atau
berkebun. Penjelasan mengenai hal tersebut ialah; bahwa manusia itu ada empat
golongan; ada yang berprofesi sebagai tukang, pedagang, pemilik lahan dan
peternak.
فَأَمَّا الصُّنَّاعُ فَكَالْفَلَّاحِينَ
وَالْمَلَّاحِينَ وَالنَّجَّارِينَ وَالْبَنَّائِينَ ، فَإِنْ كَانَ الْوَاحِدُ
مِنْهُمْ يَكْتَسِبُ بِضَاعَتَهُ قَدْرَ كِفَايَتِهِ عَلَى الدَّوَامِ لِنَفْسِهِ
وَلِمَنْ تَلْزَمُهُ مُؤْنَتُهُ حَرُمَتْ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ وَإِنْ لَمْ
يَمْلِكْ دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا ، وَإِنْ كَانَ لَا يَكْتَسِبُ بِضَاعَتَهُ
قَدْرَ كِفَايَتِهِ عَلَى الدَّوَامِ حَلَّتْ لَهُ الزَّكَاةُ وَأَنْ يَأْخُذَ
مِنْهَا تَمَامَ كِفَايَتِهِ .
Adapun orang yang berprofesi sebagai
tukang yaitu semisal petani (pekebun), petani garam, tukang kayu dan tukang
bangunan, jika salah seorang dari mereka mendapatkan hasil senilai kecukupannya
untuk selama-lamanya bagi dirinya dan bagi orang yang wajib dinafkahinya, maka
haram baginya menerima zakat sekalipun dia tidak memiliki satu Dinar atau satu
Dirham pun, namun jika dia tidak mendapatkan hasil senilai kecukupannya untuk
selama-lamanya bagi dirinya dan bagi orang yang wajib dinafkahinya, maka halal
baginya menerima zakat, dan dia boleh mengambil zakat hingga kebutuhannya
tercukupi dengan sempurna.
وَأَمَّا التُّجَّارُ فَهُمُ الَّذِينَ
يَسْتَمِدُّونَ أَرْبَاحَ بَضَائِعِهِمْ ، فَإِنْ كَانَتْ بِضَاعَةُ الْوَاحِدِ
مِنْهُمْ تُرْبِحُهُ غَالِبًا قَدْرَ كِفَايَتِهِ كَانَ غَنِيًّا تَحْرُمُ
عَلَيْهِ الزَّكَاةُ وَإِنْ لَمْ يَمْلِكْ نِصَابًا ، وَإِنْ كَانَتْ لَا
تُرْبِحُهُ قَدْرَ كِفَايَتِهِ كَانَ فَقِيرًا وَإِنْ مَلَكَ نِصَابًا وَحَلَّ
لَهُ أَنْ يَأْخُذَ مِنَ الزَّكَاةِ مَا إِذَا ضَمَّهُ إِلَى بِضَاعَتِهِ رَبِحَ
بِهَا قَدْرَ كِفَايَتِهِ ، وَذَلِكَ يَخْتَلِفُ بِحَسَبِ اخْتِلَافِهِمْ فِي
مَتَاجِرِهِمْ ،
Sedangkan pedagang yaitu orang yang
mendapatkan untung dari dagangan mereka, jika perdagangan salah seorang dari
mereka menghasilkan keuntungan dominan senilai kecukupannya (bagi dirinya dan
bagi orang yang wajib dinafkahinya), maka dia termasuk orang kaya yang haram
menerima zakat walaupun tidak memiliki harta sebesar satu nisob, namun jika perdagangannya tidak menghasilkan keuntungan senilai kecukupannya, maka dia
termasuk orang faqir sekalipun memiliki harta sebesar satu nisob, dan halal
baginya menerima zakat sebatas apa yang apabila dikalkulasi dengan harta
dagangannya, dia dianggap mendapatkan keuntungan senilai kecukupannya (bagi
dirinya dan bagi orang yang wajib dinafkahinya untuk selama-lamanya). Dan
demikian itu berbeda-beda tergantung perdagangan mereka.
فَإِذَا
كَانَ الْبَقْلِيُّ يَكْتَفِي بِخَمْسَةِ دَرَاهِمَ والْبَاقِلَّانِيُّ بِعَشَرَةٍ
وَالْفَاكِهَانِيُّ بِعِشْرِينَ وَالْخَبَّازُ بِخَمْسِينَ وَالْبَقَّالُ
بِمِائَةٍ وَالْعَطَّارُ بِأَلْفٍ وَالْبَزَّازُ بِأَلْفَيْ دِرْهَمٍ
وَالصَّيْرَفِيُّ بِخَمْسَةِ آلَافٍ وَالْجَوْهَرِيُّ بِعَشَرَةِ آلَافٍ ،
وَمَلَكَ كُلُّ وَاحِدٍ مِمَّنْ ذَكَرْنَا بِضَاعَتَهُ الَّتِي يَكْتَفِي
بِرِبْحِهَا حَرُمَتْ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ ، وَإِنْ مَلَكَ أَقَلَّ مِنْهَا
حَلَّتْ لَهُ الزَّكَاةُ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهَا تَمَامَ بِضَاعَتِهِ الَّتِي
يَكْتَفِي بِرِبْحِهَا ، حَتَّى أَنَّ الْبَقْلِيَّ إِذَا مَلَكَ خَمْسَةَ
دَرَاهِمَ هِيَ كِفَايَتُهُ كَانَ غَنِيًّا ، وَالْجَوْهَرِيَّ إِذَا مَلَكَ
تِسْعَةَ آلَافِ دِرْهَمٍ هِيَ دُونَ كِفَايَتِهِ كَانَ فَقِيرًا أَوْ مِسْكِينًا
،
Jika pedagang sayur tercukupi dengan
keuntungan lima Dirham, pedagang kacang-kacangan tercukupi dengan keuntungan
sepuluh Dirham, pedagang buah tercukupi dengan keuntungan duapuluh Dirham,
pedagang roti tercukupi dengan keuntungan limapulah Dirham, pedagang makanan
dan minuman tercukupi dengan keuntungan seratus Dirham, pedagang parfum
tercukupi dengan keuntungan seribu Dirham, pedagang rempah-rempah tercukupi
dengan keuntungan dua ribu Dirham, penukar mata uang asing tercukupi dengan
keuntungan lima ribu Dirham atau pedagang permata tercukupi dengan keuntungan
sepuluh ribu Dirham dan masing-masing dari mereka masih memiliki harta
dagangannya serta tercukupi dengan keuntungannya, maka haram atasnya menerima
zakat, namun jika dia memiliki harta kurang dari harta dagangannya, maka halal baginya menerima zakat sampai harta dagangannya sempurna serta tercukupi dengan
keuntungannya, sehingga apabila pedagang sayur mendapatkan keuntungan lima Dirham yang menjadi kecukupannya, maka dia termasuk orang kaya, dan apabila
pedagang permata mendapatkan keuntungan sembilan Dirham yang kurang dari
kecukupannya, maka dia termasuk orang faqir atau miskin.
وَكَذَلِكَ
الْقَوْلُ فِي أَصْحَابِ الْعَقَارِ وَالْمَوَاشِي إِنْ كَانَ يَسْتَغِلُّ مِنْهَا
قَدْرَ كِفَايَتِهِ حَرُمَتْ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ ، وَإِنْ كَانَ لَا يَسْتَغِلُّ مِنْهَا
قَدْرَ كِفَايَتِهِ حَلَّتْ لَهُ الزَّكَاةُ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهَا مَا يَشْتَرِي بِهِ
مِنَ الْعَقَارِ وَالْمَوَاشِي مَا إِذَا ضَمَّهُ إِلَى مَالِهِ اكْتَفَى بِغَلَّتِهِ
عَلَى الدَّوَامِ .
Demikian pula pembahasan tentang pemilik
lahan dan peternak, jika hasil panin atau ternaknya mencapai batas
kecukupannya, maka haram atasnya menerima zakat, dan apabila hasil panin atau
ternaknya tidak mencapai batas kecukupannya, maka halal baginya menerima zakat
sebatas apa yang cukup untuk membeli lahan atau binatang ternak hingga jika
ditotal dia tercukupi dengan hasil panin atau ternaknya untuk selama-lamanya.
-------------------------
وَأَمَّا
اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّهُ لَا يَخْلُو اعْتِبَارُ الْكِفَايَةِ مِنْ أَنْ
يَكُونَ بِالْعُمُرِ أَوْ بِزَمَانٍ مُقَدَّرٍ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي
ذَلِكَ ، فَكَانَ مَذْهَبُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ إِلَى أَنَّهُ
مُعْتَبَرٌ بِزَمَانٍ مُقَدَّرٍ وَهُوَ سَنَةٌ وَذَلِكَ أَوْلَى مِنِ اعْتِبَارِهِ
بِأَقَلَّ مِنْهُمَا أَوْ أَكْثَرَ : لِأَنَّ الزَّكَاةَ تَجِبُ بَعْدَ سَنَةٍ ،
فَاعْتُبِرَ فِي مُسْتَحِقِّهَا لِكَافِيَةِ السَّنَةِ ،
Mengenai dalil mereka, sesungguhnya
ungkapan kifayah tidak lepas dari kecukupan seumur hidup atau pada masa yang ditentukan,
maka ash-hab kami berbeda pendapat tentang hal tersebut.
Menurut Madzhab Ibn Abbas bin Suraij,
bahwa yang dianggap adalah kecukupan pada masa yang ditentukan yaitu satu tahun dan demikian itu lebih utama
daripada beranggapan kurang atau lebih dari satu tahun, karena kewajiban
menunaikan zakat adalah setelah mencapai satu tahun, maka ketentuan orang yang
berhak menerima zakat adalah memiliki kecukupan selama satu tahun.
وَذَهَبَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا
إِلَى أَنَّهُ يُعْتَبَرُ فِي ذَلِكَ كِفَايَةُ الْعُمُرِ وَلَئِنْ كَانَ الْعُمُرُ
مَجْهُولًا فَالْكِفَايَةُ فِيهِ لَا تُجْهَلُ : لِأَنَّ كِفَايَةَ الشَّهْرِ مِنْ
أَجَلٍ مُعَيَّنٍ أَوْ صَنْعَةٍ تَدُلُّ عَلَى كِفَايَةِ الْعُمُرِ وَإِنْ جُهِلَ
.
Dan ash-hab kami yang lain berpendapat
bahwa yang dianggap dalam hal tersebut adalah kecukupan seumur hidup, karena
walapun umur tidak dapat diketahui, sesungguhnya kecukupan seumur hidup dapat
dikeyahui, Karena kecukupan selama sebulan dari penghasilan pasti atau lapangan
kerja menunjukkan atas kecukupan seumur hidup sekalipun umur tidak diketahui.
فَإِنْ
قِيلَ : فَقَدْ يَمْرَضُ فَيَعْجِزُ عَنِ الْكَسْبِ ، أَوْ يَغْلُو السِّعْرُ ، فَلَا
يُكْتَفَى بِذَلِكَ الْقَدْرِ
.
قِيلَ : إِذَا كَانَ ذَلِكَ صَارَ حِينَئِذٍ مِنْ
أَهْلِ الصَّدَقَةِ كَمَا أَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَمْلِكَ النِّصَابَ فَيَصِيرَ
مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَةِ .
(الكتاب
: كتاب الحاوى الكبير ـ الماوردى)
(المؤلف
: العلامة أبو الحسن الماوردى)
Jika dikatakan; Terkadang seseorang itu
sakit sehingga tidak mampu mendapatkan pengahsilan, atau harga barang makin
mahal, maka dia tidak tercukupi dengan nilai tersebut?
Jawabannya; Jika itu terjadi, sebagaimana halnya
seseorang yang mungkin jadi memiliki harta satu nisob, maka pada saat itu pula
dia menjadi orang yang berhak menerima sodaqoh.
Wallhu a’lam…
(Kitab; al-Hawi al-Kabir, Lil Allamah Abul
Hasan al-Mawardi)
Komentar
Posting Komentar